Sunday, June 4, 2017

LAPORAN TUGAS AKHIR EFEKTIVITAS NAA, IAA DAN IBA TERHADAP INDUKSI UMBI MIKRO PADA TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum.L)    




EFEKTIVITAS NAA, IAA DAN IBA TERHADAP INDUKSI UMBI MIKRO PADA TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum.L)







LAPORAN TUGAS AKHIR



Description: Logo%2BPoliteknik%2BNegeri%2BJember





oleh

Citra Helda Anggia      : NIM A31151077

Darminto                       : NIM A31150790

Santi Mujayana           : NIM A31150853

Ahmad Ariyanto B       : NIM A31151052







PROGRAM STUDI PRODUKSI TANAMAN HORTIKULTURA

JURUSAN PRODUKSI PERTANIAN

POLITEKNIK NEGERI JEMBER

2017


BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

     Kentang (Solanum tuberosum. L) merupakan sumber makanan terbesar keempat di dunia setelah padi, gamdum dan jagung. Kebutuhan akan kentang terus meningkat setiap tahun sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku kentang. Kentang merupakan salah satu bahan makanan yang banyak mengandung karbohidrat, mineral dan vitamin. Selain itu kentang merupakan bahan makanan bernilai ekonomi tinggi yang dapat mendatangkan keuntungan bagi pengusaha industri makan olahan, pedagang dan petani yang membudidayakannya (Gunarto, 2007).

     Kebutuhnan dalam negeri akan kentang berkisar 8,9 juta ton/tahun. Selama ini produksi kentang nasional masih kurang lebih 1,1 juta ton/tahun, dari luas panen 80.000 ha. Potensi ini masih perlu dikembangkan, karena potensi lahan masih sanag luas yaitu 1.331.700 ha yang berada pada ketinggian diatas 700 m diatas permukaan laut yang umumnya terdapat diluar pulau jawa (Wattimena, 2006).  

     Benih atau bibit merupakan kunci utama keberhasilan budidaya kentang, selama ini benih diperoleh dari hasil konvensional, sehingga kualitasnya juga masih rendah. Ketersediaan benih kentang di indonesia hanya mencapai 7,4 % jauh dari kebutuhan yaitu 140.000 ton pertahun termasuk import, sehingga salah satu satu cara memperoleh bibit kentang yang bermutu tunggi yaitu dapat dilakukan dengan pebanyakan tanaman secara invitro atau kultur jaringan. Penggunaan teknik kultur jaringan dapat menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang relatif singkat  selain itu tidak tergantung pada iklim dan musim (Yuwono, 2006).

     Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, selama sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkan dalam kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan bisa beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali (Gunawan 1988). Perbanyakan tanaman secara in vitro antara lain dapat dilakukan melalui embryogenesis somatik, regenerasi organ adventif, perbentukan cabang aksilar dan kultur buku tunggal (Pierik, 1987). Tujuan perbanyakan tanaman  secara kultur jaringan yang lain adalah tidak memerlukan tempat yang luas, bibit yang dihasilkan lebih sehat dan memungkinkan terjadinya manipulasi genetik.

     Dalam perkembangan perbanyakan tanaman, teknik kultur jaringan mempunyai dua kegunaan utama yaitu untuk perbanyakan klonal yang akan menghasilkan propagula bermutu dan perbaikan utama tanaman untuk menghasilkan kultivar baru yang lebih unggul sesuai dengan program perbaikan sifat-sifat genetik yang dikehendaki (Yusnita, 2004).

     Salah satu faktor penentu keberhasilan perbanyakan tanaman secara kultur jaringan adalah media kultur. Komponen media yang menentukan keberhasilan kultur jaringan yaitu jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh (ZPT) yang digunakan. Jenis dan konsentrasi ZPT tergantung pada tujuan dan tahap pengkulturan. Auksin merupakan zat pengatur tumbuh yang dibutuhkan dalam media budidaya jaringan dn diberikan dalam konsentrasi sesuai dengan pertumbuhan yang diinginkan. Konsentrasi hormon pertumbuhan pada medium kultur jaringan sangat berperan dalam morfogenesis (Ali et al, 2007). 

     Auksin menyebabkan perpanjangan batang, internode, tropism, apikal dominan, absisi dan perakaran. Dalam kultur jaringan auksin digunakan untuk pembelahan sel dan diferensiasi akar (Yusnita, 2004). Selain itu keberhasilan kultur jaringan tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya sterilisasi, pemilihan bahan eksplan, faktor lingkungan seperti pH, cahaya dan temperatur (Hendaryono dkk. 1994). Kehadiran zat pengatur tumbuh sangat penting didalam teknik kultur jaringan.

     Faktor yang perlu mendaptkan perhatian dalam pengggunaan ZPT antara lain jenis ZPT dan konsentrasi yang digunakan. IAA merupakan golongan auksin yang digunakan pada tanaman kentang (Solanum tuberosum.L) konsentrasi antara 1.01- 10 mg/l air (Bhojwani dan Razdan, 1983).





1.2 Rumusan Masalah

1.      Bagaimana pengaruh jenis auksin (NAA, IBA dan IAA) terhadap induksi umbi mikro pada tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) ?

2.      Pada konsentrasi berapa pemberian jenis auksin (NAA, IBA dan IAA) yang paling efektif terhadap induksi umbi mikro tanaman kentang (solanum tuberosum L.) ?



1.3 Tujuan

1.      Mengetahui  pengaruh jenis auksin (IAA, IBA dan NAA) terhadap induksi umbi mikro pada tanaman kentang (Solanum tuberosum L.). 

2.      Mengetahui jenis auksin  (IAA, IBA dan NAA) yang paling efektif terhadap induksi umbi mikro pada tanaman kentang (solanum tuberosum L.).



1.4 Manfaat

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah :

1.         Bagi masyarakat umum, memberikan informasi tentang peningkatan jumlah produksi bibit tanaman kentang dengan menggunakan ZPT auksin.

2.         Mendapatkan bibit tanaman kentang yang homogeny atau umur dan ukuran yang sama dalam waktu yang cukup singkat menggunakan umbi mikro.



1.5 Hipotesis

            Hipotesis dalam penelitiannya ini:

1.      Pengaruh jenis auksin (IAA, IBA dan NAA) terhadap induksi umbi mikro pada tanaman kentang (Solanum tuberosum L.). 

2.      Terdapat jenis auksin yang efektif terhadap induksi tanaman kentang melalui umbi mikro.


BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA





2.1  Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.). 

      Kentang memiliki nama ilmiah Solanum tuberosum L. Dalam dunia tumbuhan, kentang diklasifikasikan sebagai berikut:

Divisi                 : Spermatophyta

Subdivisi            : Angiospermae

Kelas                  : Dicotyledonae

Ordo                  : Solanales

Famili                 : Solanaceae

Genus                : Solanum

Spesies               : S. tuberosum L.

      Kentang (S. tuberosum L.) adalah tanaman dari suku Solanaceae yang memiliki umbi batang yang dapat dimakan dan disebut "kentang" pula. Tanaman ini berasal dari daerah subtropika, yaitu dataran tinggi Andes Amerika Utara. Daerah yang cocok untuk budi daya kentang adalah dataran tinggi atau pegunungan dengan ketinggian 1.000-1.300 meter di atas permukaan laut, curah hujan 1.500 mm per tahun, suhu rata-rata harian 18-21◦C, serta kelembaban udara 80-90 persen. Tanaman kentang adalah salah satu tanaman budidaya tetraploid (2n = 4x = 40) yang merupakan herba (tanaman pendek tidak berkayu) semusim. Kentang membentuk umbi di bawah permukaan tanah dan menjadi sarana perbanyakan secara vegetatif. Dalam budidaya kentang, perbanyakan dilakukan melalui model ini sehingga keragaman kentang di ladang sangat rendah (Gklinis, 2009).

      Kentang merupakan tanaman dikotil bersifat musiman, berbentuk semak/herba dengan filotaksis spiral. Tanaman ini pada umumnya ditanam dari umbi (vegetatif) sehingga sifat tanaman generasi berikutnya sama dengan induknya. Stolon tumbuh secara horizontal sepanjang 12,5-30 cm, menebal bagian ujungnya untuk membentuk umbi. Periode inisiasi pembentukan umbi terjadi pada 5-7 minggu setelah tanam. Pada saat ini, tinggi bagian tanaman yang tumbuh di atas permukaan tanah berkisar antara 15-30 cm. Jumlah umbiyang tinggi memerlukan kondisi yang baik selama minggu pertama dan kedua periode inisiasi pembentukan umbi (Adiyoga et al., 2004).

      Stolon kentang adalah pucuk lateral, biasanya tumbuh dari nodia paling pangkal dibawah permukaan tanah. Stolon tersebut merupakan pucuk diageotropik dengan internodia yang panjang, berbentuk seperti kait pada ujungnya dan susunan daunnya membentuk spiral dengan jarak tertentu. Ketika umbi berkembang, akan terbentuk dari daerah sub apikal stolon. Pembentukan umbi terkait dengan dua proses yaitu pembentukan stolon dan pembentukan umbi pada ujung stolon (Harris, 1978).

     Wiersema (1987) mengungkapkan bahwa pada kepadatan batang yang rendah, terjadi persaingan antar batang yang lebih kecil, menghasilkan jumlah umbi yang banyak per batangnya, namun, tiap unit area lebih sedikit. 4 Xviii Sebaliknya, ketika kepadatan batang meningkat, jumlah umbi per batang menurun, namun jumlah umbi per area umumnya meningkat.

      Pembentukan umbi membutuhkan panjang penyinaran (fotoperiodisi tas) yang pendek, sedangkan untuk pembentukan bunga memerlukan hari panjang antara 16-18 jam. Di daerah tropis dengan fotoperiodisitas yang pendek (antara 12-13 jam), pembentukan umbi dimulai lebih cepat, pertumbuhan daun-daun cepat terhenti, dan kematian daun juga lebih cepat sehingga secara keseluruhan masa pertumbuhannya lebih pendek (Soelarso, 1997).

      Pati kentang mengandung amilosa dan amilopektin dengan perbandingan 1:3. Dari tepung dan pati kentang, selanjutnya dihasilkan berbagai produk pangan olahan dengan beragam cita rasa yang enak dan penampilan menarik. Kandungan karbohidrat pada kentang mencapai sekitar 18 persen, protein 2,4 persen dan lemak 0,1 persen. Total energi yang diperoleh dari 100 gram kentang adalah sekitar 80 kkal. Dibandingkan beras, kandungan karbohidrat, protein, lemak, dan energi kentang lebih rendah. Namun, jika dibandingkan dengan umbi-umbian lain seperti singkong, ubi jalar, dan talas, komposisi gizi kentang masih relatif lebih baik (Astawan, 2004).

      Kentang adalah sumber karbohidrat yang juga kaya mineral dan vitamin. Khasiat dari kentang antara lain adalah mencegah kanker, pengobatan asam urat, ginjal, sistem lambung dan jantung, untuk kesehatan lever, jaringan otot, untuk proses peremajaan kulit. Kandungan gizi kentang dalam 100 gr kentang antara lain: Protein 2,00 gr, lemak 0,30 gr, karbohidrat 19,10 gr, kalsium 11,00 mg, fosfor 56,00 mg, serat 0,30 gr, besi 0,30 mg, vitamin B1 0.09 mg, vitamin B2 0,03 mg, vitamin C 16,00 mg, dan niacin 1,40 mg. Namun demikian terdapat zat racun yang terkandung dalam kentang yaitu Solanin. Kentang yang mengandung zat ini diindikasikan berwarna hijau (Mlandhing, 2008).



2.2  Umbi makro

      Umbi mikro merupakan umbi yang dihasilkan planlet in vitro. Umbi mikro lebih mudah ditangani selama proses pengiriman, distribusi, serta penyimpanan karena ukurannya yang relatif kecil (Perez-Alonso et al. 2010). Namun pemanfaatannya masih belum optimal, karena masih terkendala oleh terbatasnya informasi potensi daya hasil umbi mikro dalam menghasilkan benih umbi mini. Padahal telah banyak publikasi yang melaporkan pemanfaatan umbi mikro dalam

pertukaran plasma nutfah, sebagai benih dasar dalam produksi benih kentang terutama sebagai bahan dalam memproduksi umbi mini (Zamora et al. 1994, Ranalli et al. 1994, Donelly et al. 2003, Kanwal et al. 2006, Badoni dan Chauhan 2009, Nistor et al. 2010, Bolandi et al. 2011).

     Menurut Donelly et al. (2003) beberapa penelitian menunjukkan bahwa umbi mikro dapat dimanfaatkan dalam produksi benih berupa generasi awal (Go) maupun generasi lanjut bergantung pada kondisi lingkungan untuk memenuhi standar mutu benih yang diharapkan. Untuk penanaman di lapangan disarankan agar petani penangkar menggunakan umbi mikro dengan ukuran diameter 5-15 mm (Santos dan Rodriguez 2008).

     Beberapa faktor yang memengaruhi produksi umbi mikro antara lain genotip (Dhital dan Lim 2004, Otroshy et al. 2009, Aslam dan Iqbal 2010, Nistor et al. 2010), media yang meliputi sumber dan konsentrasi karbon (Altindal dan Karadogan 2010), tanpa atau dengan kombinasi zat pengatur tumbuh sitokinin (Rafique et al. 2004, Uranbey 2005, Zakaria et al. 2008, Aslam dan Iqbal 2010), antigiberelin (Larekeng et al. 2009, Masniawati et al. 2009, Dwiati dan Anggorowati 2011), chlorocholine chloride (Zakaria et al. 2008, Imani et al. 2010), ventilasi kultur (Mobini et al. 2009), suhu (Uranbey et al. 2004, Otroshy et al. 2009), bahan pemadat media (Uranbey et al. 2004), dan panjang penyinaran (Uranbey 2005). Teknik pengumbian in vitro dapat dilakukan langsung dari penanaman eksplan pada media pertumbuhan yang sekaligus merupakan media pengumbian (Rafique et al. 2004, Uranbey 2005) dan tidak langsung melalui dua  tahap, yaitu pertumbuhan planlet dan kemudian periode pengumbian (Piao et al. 2003, Perez-Alonso et al. 2010, Nistor et al. 2010). Untuk komersialisasi dan otomatisasi, produksi umbi mikro secara massal dikembangkan menggunakan bioreactor (Ebadi et al. 2002, Piao et al. 2003, Ebadi et al. 2007), dan media dengan perendaman secara temporer yang menunjukan hasil lebih baik daripada kultur pada perendaman yang terus menerus (Perez-Alonso etal. 2010).

    

2.3  AUKSIN

    Istilah auksin (dari bahasa yunani auxein “meningkat) pertama kali digunakan oleh Frits Went, seorang mahasiswa pasca sarjana dinegeri belanda pada tahun 1926, yang menemukan bahwa sesuatu senyawa yang belum dapat dicirikan mungkin penyebab kebengkokan koleoptil oat kearah cahaya. Fenomena pembengkokan ini yang disebut fototropisme.senyawa yang ditemukan Went didapati cukup banyaak di ujing koleopati (Salisbury dan ross, 1992).

Auksin yang ditemukan Went kini diketahui sebagai asam indolasetat (IAA) dan beberapa ahli fisiologi masih menyamakan IAA dengan auksin. Namun, tumbuhan mengandung tiga senyawa lain yang strukturnya mirip dengan IAA dan menyebabkan banyak respons yang sama dengan IAA ketiga senyawa tersebut dianggap sebagai hormone auksin. Salah satunya adalah asam 4-kloroindolasetat (4-klorosetatIAA), yang ditemukan pada biji muda berbagai jenis kacang-kacang (Engvild, 1986). Yang lainnya, asam fenilasetat (PPA) ditemukan pada banyak jenis tumbuhan dan sering lebih banyak jumlahnya padipada IAA, walaupun kurang aktif dalam menimbulkan respons khas IAA (Weightman dan Lighty, 1982; Leuba dan Le tomeau, 1990). Yang ketiga asam indolbutirat (IBA) yang ditemukan belakangan. Semula diduga hanya merupakan auksin tiruan yang aktif namun ternyata ditemukan pada ujung daun jagung dan berbagai jenis tumbuhan dikotil (Schneider dkk, 1985; Epstein dkk, 1989) sehingga barang kali zat tersebut tersebar luas pada dunia tumbuhan.



2.4    IAA (Indole Acetic Acid)

Secara kimia, IAA mirip dengna asam amino triptofan (walaupun sering 1000 kali lebih encer) dan barangkali memang disintesis dan triptofan. Ada dua mekanisme sintesis yang dikenal dan keduanya meliputi pengusiran gugus asam amino dan gugus karboksil akhir dari cincin samping triptofan (Sembdner dkk, 1980; Cohen dan Bialek, 1984; Reinecke dan bandurski, 1987). Lintasan yang lebih banyak terjadi pada sebagian besar spesies barangkali mencangkup tahapan berikut: gugus amino bergabung dengan sebuah asam amino a-keto melalui reaksi transaminase menjadi asam indolpiruvant, kemudian dekarboksilasi indopiruvat  membentuk indolasetaldehid; akirnya indolasetaldehid dioksidasi menjadi IAA terdapat di jaringan muda, seperti meristem tajuk, serta daun dan buah yan gsedang tumbuh, Disemua jaringan ini kandungan auksin juga paling tinggi yang menunjukkan bahwa IAA memang disintesis dibagian tersebut (Salibury dan ross, 1992).

Hal yang mengherankan mengenai kumpulan IAA sebagai hormone ialah caranya diangkut dari satu organ atau jaringan ke organ atau jaringan yang lain. Berlainan dengan pergerakan gula, ion dan linarut tertentu lainnya, IAA biasanya tidak dipindahkan melalui tabung tipis floem atau melalui xylem, tapi terutama melalui sel parenkima yang bersinggungan dengan bekas pembuluh (Jacobs, 1979; Aloni, 1987b) dalam Salisbury dan ross,1992).

Iaa terdapat diakar, pada kosentrasi yang hampir sama dengan bagian tumbuhan lainnya. Seperti pertama kali dikemukakan pada tahun 1930an, pemberian auksin memacu pemanjangan potongan akar atau bahkan akar utuh pada banyak spesies, tapi hanya pada kosentrasi yang sangat rendah (10‾7 sampai 10-13 M, bergantung pada spesies dan umur akar). Pada kosentrasi yang lebih tinggi (tapi masih cukup rendah antara 1 sampai 10 M), pemanjangan hampir selalu terlambat. Diperkirakan, sel akar umumnya mengandung cukup atau hampir cukup auksin untuk memanjang secara normal. Memang banyak potongan akar belum tumbuh selama beberapa hari atau beberapa minggu in vitro tanpa penambahan aiksin, yang menandakan bahwa kebutuhan akan hormone ini sudah terpenuhi dan hasil sintesisi sendiri (Salisbury dan ross, 1992).



2.4    IBA (Indole Butyric Acid)

     Zat pengatu tumbuh yang sering digunakan untuk merangsang pertumbuhan adalah indolebutyric acid (IBA), indoleacetic acid (IAA) dan napthaleneacetic acid (NAA). IBA dan NAA lebih efektif dari pada IAA, sebab keduanya ebih stabil digunakan dalam penyetekan. IBA dan NAA lebih stabil terhadap oksidase dan cahaya  (Zaerr dan Mapes, 1982).menurut Salisbury dan Ross (1992, NAA lebih efektif dari IAA karena NAA tidak dapat dirusak oleh IAA oksidase atau enzim lainnya, sehingga bertahan lebih lama. Sedangkan IBA lazim digunakan untuk memacu perakaran dibandingkan dengan NA atau auksin lainnya.

      Menurut Ponganan (2004) menjelaskan bahwa NAA dan IBA mempunyai sifat translokasi yang lambat dan persisitensi tinggi serta aktivitas yang rendah sehingga selang perakaran cukup besar. Selain itu dalam penelitian ini juga ddigunakan IAA untuk mengujian. Menurut Wattimena (1991) menjelaskan bahwa IAA merupakan salah satu hormone tumbuh yang berperan untuk memacu pertumbuhan sepanjang sumbu longitudinal. Hal spesifik yang terlihat berupa peningkatan pembesaran sel yang langsung ke segala arah secara isodiametric.







2.5  NAA (Napthanleneaacetic Acid)

     NAA adalah hormon sintetis pada tanaman dari golongan auksin dan merupakan bahan dalam perakaran produk hortikultura untuk perbanyakan tanaman secara komersial; NAA adalah agen perakaran damndigunakan untuk perbanyakan vegetatif tanaman dari batang dan pemotongan daun . Hal ini juga digunakan untuk kultur jaringan tanaman, hormon NAA tidak terbentuk secara alami dan sama seperti semua auksin yang merupakan racun bagi tanaman pada konsentrasi tertinggi, di Amerika Serikat dibawah Federal Insektisida, fingisida dan undang-undang Rodenticide (FIFRA), produk yang mengandung NAA memerlukan pendaftaran dengan Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) sebagai pestisida (Morikawa, 2004).

     NAA secara luas di gunakan di bidang pertanian untuk berbagai tujuan. Hal ini dianggap hanya sedikit beracun tetapi ketika pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat menjadi racun bagi hewan. Hal ini terlihat ketika diuji pada tikus melaui konsumsi oral 1000-5900 mg/kg (Tomlin, 2006).

     NAA telah terbukti untuk meningkatkan pembentukan serat selulosa pada tanaman ketika di kombinasikan dengan hormon tumbuhan lain yang di sebut asa giberelat. Karena dalam golongan auksin itu juga telah di pahami untuk mencegah pematangan buah sebelum waktunya dan penipisan buah-buahan dari batang. Hal ini diterapkan setelah penyerbukan bunga. Peningkatan jumlah sebenarnya dapat memiliki efek negetif dan menyebabkan hambatan pertumbuhan untuk pengembangan tanaman. NAA telah digunakan pada banyak tanaman yang berbeda termasuk apel, jeruk, kentang dan berbagai buah-buahan tergantung lainnya. Dalam rangka untuk mendapatkan efek yang di inginkan harus diterapkan dalam konsentrasi mulai 20-100 ug/mL (Navalon, 1997).


BAB 3. METODOLOGI

3.1  Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga Juni tahun 2017 di Laboratorium Kultur Jaringan Politeknik Negeri Jember.



3.2 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan menggunakan metode non faktorial, 4 perlakuan dan setiap perlakuan diulang sebanyak lima kali. Masing-masing unit terdiri dari dua botol, jumlah botol 40, jumlah eksplan setiap botol tiga eksplan jumlah eksplan keseluruhan 120, kebutuhan media setiap botol kultur 25 ml, kebutuhan total media setiap perlakuan 250 ml dan kebutuhan total media dasar yang digunakan 1000 ml.

Non faktor  komposisi media yang terdiri atas 4 perlakuan, yaitu:

P0  = ½ MS + 6 mgr/l Agar + 90 g/l gula + 3 ppm BAP

P1 = ½ MS + 6m gr/l Agar + 90g/l gula + 3 ppm + 0,25 NAA

P2 = ½ MS + 6 mgr/l Agar+ 90g/l gula +  3 ppm BAP + 0,25 IAA

P3 = ½ MS + 6 mgr/l Agar+ 90g/l gula+ 3 ppm BAP + 0,25 IBA



3.3  Alat dan Bahan Penelitian

3.3.1        Alat

Penelitian ini menggunakan alat : pinset, botol kultur, petridish, lampu Bunsen, pisau scalpel, autoclave, LAF.







3.3.2        Bahan

Penelitian ini menggunakan bahan tanaman yang digunakan : bagian ruas tanaman kentang, media ½ Murashige-Skoog (MS), zat pengatur tumbuh 0.75 ppm BAP, zat pengatur tumbuh  0.0625 NAA, zat pengatur tumbuh 0.0625 IAA, zat pengatur tumbuh 0.0625 IBA, agar 1.5 mg/250ml, gula 22.5 g/250ml Aquades, detergen. Alkohol.



Langkah Kerja

3.3.3    Sterilisasi alat

1.    Menyiapkan alat dan bahan

2.    Mencuci botol dengan sabun cair menggunakan spons dan sikat hingga bersih lalu bilas dengan air bersih

3.    Mengering anginkan botol dengan menggunakan lap bersih, susun rapi kedalam oven

4.     Masukkan ke dalam autoclave pada suhu 121­o C selama 60 menit pada tekanan 175 psi (pound per square inch)

5.    Alat-alat yang disterilkan sebelum pemanasan adalah pinset,gunting ,botol kosong.

6.    Alat-alat dan kertas saring dibungkus rapi dengan kantong plastik yang disealer sebelum dimasukkan ke dalam autoclave. Alumunium foil tidak dianjurkan sebagai pembungkus karena uap air tidak dapat masuk kedalam pembungkus.

7.    Alat-alat seperti pinset,gunting,gagang scalpel dibungkus dengan plastik yang telah disealer

8.    Petridish dan tutup botol disterilkan dengan pembungkus plastik yang sudah disealer

9.    Selanjutnya autoclave dibuka dan peralatan yang telah disterilisasi diambil

10. Mengering anginkan semua peralatan, simpan dengan rapi dan ditempat yang bersih.

3.3.4             Pembuatan media

1.    Mempersiapkan alat dan bahan

2.    Memasukkan larutan stock satu per satu kedalam wadah, urutkan larutan stock dari A-H agar tidak ada yang terlewat saat pengambilan larutan

3.    Menimbang agar dan gula

4.    Melarutkan gula

5.    Menambah larutan gula kedalam larutan stock

6.    Menambah aquades sampai dengan volume yang terukur

7.    Mengukur Ph 5,8

8.    Memasukan agar kedalam larutan

9.    Menambah aquades sampai dengan volume yang diinginkan

10.  Melarutkn agar dengan cara memasak di kompor sampai media larut/mendidih

11.  Membagi larutan tersebut kedalam botol media

12.  Mensterilkan media menggunakan autoclaf



3.3.5                       Penanaman eksplan

1.    Menyiapkan alat dan bahan

2.    Sebelum kita bekerja di dalam laminar air flow, semua perhiasan tangan harus dilepas, dan tangan dibasuh terlebih dahulu dengan alkohol 70%.

3.    Membersihkan LAF dengan menggunakan alcohol

4.    Alat-alat dan lampu di letakkan di sebelah kiri dan lampu bunsen diletakkan jauh dari alkohol 

5.    Pinset dan scalpel sebelum digunakan di LAF terlebih dahulu dengan mencelupkannya kedalam alkohol 96 % dan di bakar dibakar diatas lampu bunsen sampai padam sendiri dan didiamkan sejenak agar pinset dan scalpel dingin

6.    Media disiapkan, tutup botol (alumunium foil) dibuka dengan hati-hati dan di letakkan disebelah kanan. Botol dipegang dengan tangan kiri dan dalam keaadaan miring mulut botol di flamir diatas lampu bunsen.

7.    Eksplan diambil dengan menggunakan pinset steril yang sudah dingin, kemuadian dimasukkan ke dalam medium untuk ditanam, penanaman dilakukan dengan api bunsen.

8.    Botol ditutup rapat dengan alumunium foil dan beri wraping plastic agar idak ada celah udara yang masuk pada alumunium foil

9.    Beri label pada masing-masing botol kultur

10.  Botol kultur disimpan diruang inkubasi



3.3.6   Parameter

3.3.6.1  Jumlah kalus

Jumlah kalus diamati pada pengamatan terakhir yaitu dengan cara menghitung kalus per tanaman disetiap botol dan setelah dihitung semuanya perbotol.

3.3.6.2                Jumlah Tunas

Jumlah tunas diamati pada pengamatan terakhir yaitu dengan cara menghitung tunas lateral per tanaman disetiap botol dan setelah dihitung semuanya perbotol.

3.3.6.3                Panjang Tunas

Panjang tunas diamati pada pengamatan terakhir yaitu dengan cara menghitung tinggi tunas per tanaman disetiap botol dan setelah dihitung semuanya perbotol.

3.3.6.4                Jumlah Akar

Jumlah akar diamati pada pengamatan terakhir yaitu dengan cara menghitung semua per tanaman disetiap botol dan setelah dihitung semuanya perbotol.

3.3.6.5                Panjang akar

Panjang akar diamati hari setelah tanam panjang mencapai 0.01 mm. dengan cara mengamati secara visual (dengan mata telanjang)

3.3.6.6                Jumlah Umbi

Jumlah umbi diamati pada pengamatan terakhir yaitu dengan cara menghitung semua umbil per tanaman disetiap botol dan setelah dihitung semuanya perbotol.

3.3.6.7  Jumlah daun

Jumlah daun diamati pada pengamatan terakhir yaitu dengan cara menghitung jumlah daun per tanaman disetiap botol dan setelah dihitung semuanya perbotol.



BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

           

Pada penelitian ini ditemukan kultur media 1 botol terkontaminasi oleh jamur hal ini di duga akibat proses sterilisasi berjalan tidak baik, dipengaruhi oleh penutupan botol kultur yang kurang rapat sehingga mikroorganisme masuk kedalam botol dan mengakibatkan media terkontaminasi dan 7 botol kultur terkontaminasi oleh jamur ciri-cirinya disekitar eksplan terdapat jamur hal ini dipengaruhi oleh terlalu kecilnya ukuran eksplan sehingga petridish menyentuh media disekitar eksplan, pada saat melakukan inokulasi jauh dari lampu Bunsen, pemotongan eksplan yang kurang hati-hati sehingga sebagian el-sel jaringan meristem rusak. Sel-sel tersebut dapat juga mati karena pengaruh panas dari alat yang digunakan pada waktu pemotongan atau penanaman eksplan.

Kontaminasi merupakan factor pembatas keberhasilan kultur jaringan yang berasal dari :

1.      Bahan tanaman baik eskternal maupun internal

2.      Organisme kecil yang masuk pada media

3.      Botol kultur dan peralatan kurang steril

4.      Lingkungan kerja dan ruang kultur

5.      Kecerobohan dalam pelaksanaan

Dari seluruh eksplan yang ditanam, hanya 18% yang dapat tumbuh menjadi planlet pada pada pengamatan MSI. Perlakuan yang mampu mendorong jaringan meristemnya tumbuh menjadi planlet adalah perlakuan N (NAA 0,01 mg/l dan 2-ip 0,01 mg/l). penumbuhan jaringan meristem ntuk tujuan eliminasi penyakit sistemik diharapkan tidak membentuk kalus. Walaupun demikian, kalus terbentuk pada perlakuan (NAA 0,10 mg/l dan 0.01 mg/l 2-ip), (NAA 0,01 mg/l dan 2-ip 0,05 mg/l), dan (NAA 0,10 mg/l dan 2-ip 0,05 mg/l), karjadi (2005).

Pertumbuhan dan perkembangan eksplan terlihat pada umur 2 msi munculnya tunas dan panjang tunas mulai terlihat tetapi panjang daun, jumlah daun, panjang akar, jumlah akar, jumlah umbi, jumlah kalus baru terlihat 6-7 msi. Hal ini dipengaruhi oleh zpt yaitu NAA, IAA, IBA dan BAP.

Data tabel 1. Memperlihatkan bahwa jumlah tunas tidak memperlihatkan signifikan hal ini dipengaruhi oleh gula 90 mg/l kandungan karbohidrat mengubah gula sederhana yang diteruskan pada tanaman, sehingga gulan 90 mg/l mempengaruhi jumlah daun, jumlah umbi, jumlah akar, panjang akar, jumlah kalus, dan panjang tunas berpengaruh sangat signifikan. Gula sederhana pada daun membantu proses fotosintesis sehingga hasil dari fotosintesis energy yang dihasilkan disebar pada seluruh tanaman terutama pada umbi. Di dalam umbi terdapat hasil penyimpanan karbohidrat dan pada akar dalam proses pembelahan sel-sel yang dibantu oleh zpt auksin akan mempenngaruhi jumlah akar dan panjang akar, pada jumlah tunas dipengaruhi oleh proses pembentukan, pembelahan, perkembangbiakan dipengaruhi oleh BAP sehingga muncul kalus pada zpt IAA.

Tabel 1. Rerata jumlah daun, jumlah umbi, jumlah tunas, jumlah akar, panjang akar, jumlah kalus dam panjang tunas.





Parameter



Medium
Perlakuan
∑ daun
∑ umbi
  tunas
∑ akar
panjang akar
  kalus
panjang tunas
A
1/2 Ms+6 mg/l+90 g/l+3 ppm BAP
1.566 B
1.4 A
1.436 Ns
1.234 B
0.474  B
0 B
0.504 B
B
1/2 Ms+6 mg/l+90 g/l+3 ppm BAP+0.25 NAA
1.548 B
1.534 A
1.05 Ns
1.3 B
0.22 B
0.2 B
0.674 AB
C
1/2 Ms+6mg/l+90 g/l+3 ppm BAP+0.25 IAA
1.684 AB
1.068 B
1.502 Ns
1.618 A
0.774 A
1A
0.578 AB
D
1/2  Ms+6mg/l+90 g/l+3 ppm BAP+0.25 IBA
2.566 A
1.034 B
1.568 Ns
1.284 B
0.424 B
0.2 B
0.818 A

Angka-angka pada baris dan kolom yang diikuti huruf kecil yang sam tidak berbeda nyata menurut uji lanjut beda nyata jujur (BNJ) pada taraf 10%.



Diagram batang 1. pengamatan 7 MSI


Pada diagram batang 1 pengamatan terhadap pertumbuhan dan perkembangan kemtang selama 7 MSI (minggu setelah inokulasi). Hasil menunjukkan bahwa bahwa setiap minggunya mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Pada parameter jumlah daun dan pada perlakuan IBA hal ini dibantu oleh gula 90 mg/l membantu dalam proses pembentukan sel dan perpanjangan sel.

4.1 jumlah daun

            Hasil sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan konsentrasi IBA berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun dan panjang daun. Pembentukan daun diawali dengan inisiasi primodia daun yang diikuti dengan proses pembelahan sel, pembesaran sel, dan diferensiasi, kehadiran sitokinin akan berperan dalam proses pembelahan dan pembesaran sel, yang pada akhirnya akan mengarah pada pembentukan organ.

 Hal tersebut mengindikasikan bahwa kehadiran sitokinin dalam pertumbuhan daun terutama berperan dalam proses pembentukan jaringan mesofil. auksin memiliki peran dalam pertumbuhan daun terutama dalam hal pembentukan tulang akarnya, meskipun tanaman gagal membentukan jaringan mesofil daun, namun tanaman tetap mampu membentuk pembuluh angkut pada daun karena pucuk sebagai sumber auksin masih ada. secara terpisah auksin dan sitokinin memang memiliki fungsi yang antagonis, namun dalam kenyataannya untuk menghasilkan suatu respon fisiologi tertentu diperlukan interaksi kerja di antara keduanya.

Diagram batang 2.  Jumlah daun

                      

4.2 jumlah akar dan panjang akar

            Jumlah akar dan panjang akar pada penambahan ZPT IAA berpengaruh nyata. Akar yang terbentuk merupakan jenis akar adventif karena berasal dari jaringan yang tidak memiliki preexisting meristem akar. Hasil dari sidik ragam menunjukan bahwa pemberian IAA secara tunggal berpengaruh nyata terhadap jumlah akar yang terbentuk. IAA memberikan memberikan pengaruh sangat nyata.

            Rata-rata jumlah akar terbanyak pada penelitian ini diperoleh pada perlakuan media  ½ MS dan IAA yaitu sebanyak 7 akar. Hal tersebut diduga karena tanaman krisan telah memiliki kandungan auksin endogen yang cukup tinggi. seringkali sekelompok sel dalam suatu eksplan mampu memproduksi auksin endogen yang cukup untuk aktivasi sel itu sendiri.

Diagram batang 3. Jumlah akar dan panjang akar


4.3 pembentukan kalus

            Selama masa pengamatan, terdapat respon pembentukan kalus pada beberapa eksplan. Pembentukan kalus pada kultur in vitro akan terjadi akibat perimbangan konsentrasi auksin dan sitokinin pada tingkatan tertentu. Kalus mulai terbentuk mulai  MSK dan terus berlanjuthingga minggu berikutnya. Eksplan yang membentuk kalus beberapa di antaranya mampu membentuk akar dan tunas, namun ada pula yang masih terbentuk kalus hingga akhir masa pengamatan. Kalus yang terbentuk umumnya mempunyai struktur kompak dan berwarna hijau.

            Besarnya presentase eskplan yang membentuk kalus juga didukung oleh jenis eksplan yang digunakan yakni stek buku tunggal di mana bagian ujung atas dan bawah eksplan membentuk luka bekas pemotongan luka bekas pemotongan buku. kalus dapat terbentuk akibat adanya perlakuan pada suatu jaringan tumbuhan. Selanjutnya sel-sel pada jaringan yagn terluka itu memperbaiki diri dengan jalan membentangkan dinding sel dan menyerap banyak air hingga sel membengkak. Proses selanjutnya ialah sel membelah secara cepat hingga menghasilkan masa sel yang belum terdiferensiasi yang disebut kalus.

            Seleksi eksplan yang cocok merupakan hal yang penting dalam hal menentukan keberhasilan dalam kultur jaringan. Apalagi eksplan yang kurang steril akan ditanam kemungkinan besar mikroorganisme yang terbawa eksplan akan berkembang tumbuh dengan cepat, sehingga akan menutupi media kultur jaringan.

            Kemungkinan besar yang mengakibatkan kontaminan diantaranya berasal dari eksplan yang kurang steril, orang yang melakukan kultur jaringan kontaminasi karena eksplan yang kurang steril kemudian dilukai maka mikroorganisme yang terbawa oleh eksplan dan ditambah lagi dengan sang pelaku banyak bicara, maka mikroorganisme tersebut berkembang tumbuh dengan cepat sehingga media kultur tertutupi oleh jamur.

            Kontaminasi yang terdapat pada eksplan terdapat dua cendawan yang berwarna hitam dan putih. Pada cendawan yang berwarna hitam termasuk dengan cendawan Aspergilus dengan ciri-ciri mempunyai hifa berselaput dan miselium bercabang, sedangkan hifa yang muncul diatas permukaan merupakan hifa fertile, koloninya berkelompok, konidiofora berseptat atau nonselaput yang muncul dari sel kaki, pada ujung hifa muncul sebuah gelembung, keluar dari gelembung ini muncul sterigma, pada sterigma muncul konidium-konidium yang tersusun berurutan mirip bentuk untaian mutiara, konidium-konidium ini berwarna (hitam, coklat, kuning tua, hijau) yang memberi warna tertentu pada jamur

Diagram batang 4. Jumlah kalus


4.4 jumlah tunas dan panjang tunas

            Pada minggu pertama setelah sub kultur (1MSK), presentase eskplan yang telah membentuk tunas sebanyak 0% suatu eksplan rata-rata hanya menghasilkan satu tunas saja. Pada umur 2 MSK tunas yang terbentuk mulai membentuk daunnya dan mulai memperlihatkan pertumbuhan yang cukup jelas. Pada akhir pengamatan (7MSK) presentase eksplan yang membentuk tunas mencapai 100% ekslpan yang membentuk tunas umumnya berupa eksplan yang hanya mendapat pelakuan tunggal IBA dan perlakuan interaksi penambahan IBA berpengaruh nyata jumlah tunas.

            Hasil uji F menunjukan bahwa hasil perlakuan konsentrasi tunggal IBA memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah tunas pada 7 MSK.

Diagram batang 5. Jumlah tunas dan panjang tunas


4.5 jumlah umbi

 Jumlah umbi pada penambahan ZPT NAA  berpengaruh nyata.. Hasil dari sidik ragam menunjukan bahwa pemberian NAA secara tunggal berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah umbi yang terbentuk. NAA memberikan memberikan pengaruh sangat nyata. Rata-rata jumlah akar terbanyak pada penelitian ini diperoleh pada perlakuan media  ½ MS dan NAA menumbuhkan umbi. Hal tersebut diduga karena dibantu oleh gula 90 mg/l yang mengandung karbohidrat yang manpu membantu pembelahan sel dalam pembentukan umbi

Diagram batang 6. Jumlah umbi


BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Panjang tunas tidak berpengaruh nyata terhadap pemberian 0.25 IAA, 0.25 IBA, 0.25 NAA dan control

2.panjang akar,jumlah akar, jumlah kalus, jumlah tunas, panjang kalus, jumlah daun dan jumlah umbi sangat berpengaruh nyata terhadap pemberian 0.25 IAA, 0.25 IBA, 0.25 NAA dan control

3. Pembuntan umbi dipengaruhi oleh BAP dan gula


























DAFTAR PUSTAKA



Hartanto, D.  2009. Induksi Umbi Mikro Tanaman Daun Dewa (Gynura pseudochina (Lour.)DC) Secara In Vitro Pada Beberapa Konsentrasi Sukrosa dan Retardan. Skripsi. Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor



Kusumaningrum, I.S. 2007. Evaluasi Pertumbuhan In Vitro dan Produksi Umbi Mikro Beberapa Klon Kentang (Solanumtuberosum L.) Hasil Persilangan Kultivar Atlantik dan Granola. Skripsi. Program Studi Hortikultura Fakultas Pertanian Bogor



Prasetyo, Kurniawan Adi. 2016. Efektifitas Beberapa Auksin ( IAA, NAA dan IBA) Terhadap Pertumbuhan Tanaman Zaitun (olea europaea L) Melalui Stek Mikro. Skripsi. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.



Hidayat, I. M. 2011. Produksi Benih Sumber (G0) Beberapa Varietas Kentang dari Umbi Mikro J. Hort. Vol. 21 No. 3, 2011. Diakses pada tanggal 22 Maret 2017



Hartanto, D.  2009. Induksi Umbi Mikro Tanaman Daun Dewa (Gynura pseudochina (Lour.)DC) Secara In Vitro Pada Beberapa Konsentrasi Sukrosa dan Retardan. Skripsi. Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

         

Kusumaningrum, I.S. 2007. Evaluasi Pertumbuhan In Vitro dan Produksi Umbi Mikro Beberapa Klon Kentang (Solanumtuberosum L.) Hasil Persilangan Kultivar Atlantik dan Granola. Skripsi. Program Studi Hortikultura Fakultas Pertanian Bogor



Gunarto, A. 2007. Prospek Agribisnis Kentang G4 Sertifikat Di Kabupaten Sukabumi. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknik Budidaya Pertanian.



Yuwono. 2006. Bioteknologi Pertanian. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Gunawan, L. W. 1998. Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Pusat Antar Universitas (PAU). Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Wattimena, Kristian S., 2006. Materi Kuliah Dasar Teknologi Grafis dan Cetak, STIKOM, Surabaya.

Pierik, R. L. M., 1987. In Vitro Culture of Higher Plants Martinus Nijhoff Publ. Boston.

Yusnita. 2004. Kultur Jaringan, Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Agromedia Pustaka. Jakarta. 105 hal.

Hendaryono, Daisy dkk. 1994. Teknik Kultur Jaringan: Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif-Modern. Kanisius: Yogyakarta.

Gklinis, 2009. Kentang: Sumber Vitamin C dan Pencegah Hipertensi. http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1084847086,80496.

Harris, PM. 1978. The Potato Crop: The scientific Basis For improvement. Chapman & Hal, Inc, London.

Wiersema, S.G. 1987. Effect of Stem density on potato production. Tehnical Information Bulletin. CIP. Lima. Peru.

Soelarso, B. 1997. Budidaya Kentang Bebas Penyakit. Penerbit. Kanisius. Jogjakarta.

Astawan, M. 2004. Kentang.


Mlandhing. 2008. Kentang.


Adiyoga, W., S Rachman, T. Agoes, S. Budi. J, K. U. Bagus, R. Rini dan M. Darkam. 2004. Profil Komoditas Kentang. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.  

Salisbury, dan Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan. ITB Press. Bandung.








No comments:

Post a Comment