EFEKTIVITAS NAA,
IAA DAN IBA TERHADAP INDUKSI UMBI MIKRO PADA TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum.L)
LAPORAN
TUGAS AKHIR
oleh
Citra Helda Anggia :
NIM A31151077
Darminto : NIM A31150790
Santi Mujayana : NIM A31150853
Ahmad Ariyanto B :
NIM A31151052
PROGRAM STUDI
PRODUKSI TANAMAN HORTIKULTURA
JURUSAN PRODUKSI
PERTANIAN
POLITEKNIK
NEGERI JEMBER
2017
BAB
1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kentang (Solanum
tuberosum. L) merupakan sumber makanan terbesar keempat di dunia setelah
padi, gamdum dan jagung. Kebutuhan akan kentang terus meningkat setiap tahun
sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang
membutuhkan bahan baku kentang. Kentang merupakan salah satu bahan makanan yang
banyak mengandung karbohidrat, mineral dan vitamin. Selain itu kentang
merupakan bahan makanan bernilai ekonomi tinggi yang dapat mendatangkan
keuntungan bagi pengusaha industri makan olahan, pedagang dan petani yang
membudidayakannya (Gunarto, 2007).
Kebutuhnan dalam negeri akan kentang
berkisar 8,9 juta ton/tahun. Selama ini produksi kentang nasional masih kurang
lebih 1,1 juta ton/tahun, dari luas panen 80.000 ha. Potensi ini masih perlu
dikembangkan, karena potensi lahan masih sanag luas yaitu 1.331.700 ha yang
berada pada ketinggian diatas 700 m diatas permukaan laut yang umumnya terdapat
diluar pulau jawa (Wattimena, 2006).
Benih atau bibit merupakan kunci utama
keberhasilan budidaya kentang, selama ini benih diperoleh dari hasil konvensional,
sehingga kualitasnya juga masih rendah. Ketersediaan benih kentang di indonesia
hanya mencapai 7,4 % jauh dari kebutuhan yaitu 140.000 ton pertahun termasuk
import, sehingga salah satu satu cara memperoleh bibit kentang yang bermutu
tunggi yaitu dapat dilakukan dengan pebanyakan tanaman secara invitro atau
kultur jaringan. Penggunaan teknik kultur jaringan dapat menghasilkan bibit
dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang relatif singkat selain itu tidak tergantung pada iklim dan
musim (Yuwono, 2006).
Kultur jaringan adalah suatu metode untuk
mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, selama sekelompok sel,
jaringan dan organ, serta menumbuhkan dalam kondisi aseptik sehingga
bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan bisa beregenerasi menjadi
tanaman lengkap kembali (Gunawan 1988). Perbanyakan tanaman secara in vitro
antara lain dapat dilakukan melalui embryogenesis somatik, regenerasi organ
adventif, perbentukan cabang aksilar dan kultur buku tunggal (Pierik, 1987).
Tujuan perbanyakan tanaman secara kultur
jaringan yang lain adalah tidak memerlukan tempat yang luas, bibit yang
dihasilkan lebih sehat dan memungkinkan terjadinya manipulasi genetik.
Dalam perkembangan perbanyakan tanaman,
teknik kultur jaringan mempunyai dua kegunaan utama yaitu untuk perbanyakan
klonal yang akan menghasilkan propagula bermutu dan perbaikan utama tanaman
untuk menghasilkan kultivar baru yang lebih unggul sesuai dengan program
perbaikan sifat-sifat genetik yang dikehendaki (Yusnita, 2004).
Salah satu faktor penentu keberhasilan
perbanyakan tanaman secara kultur jaringan adalah media kultur. Komponen media
yang menentukan keberhasilan kultur jaringan yaitu jenis dan konsentrasi zat
pengatur tumbuh (ZPT) yang digunakan. Jenis dan konsentrasi ZPT tergantung pada
tujuan dan tahap pengkulturan. Auksin merupakan zat pengatur tumbuh yang
dibutuhkan dalam media budidaya jaringan dn diberikan dalam konsentrasi sesuai
dengan pertumbuhan yang diinginkan. Konsentrasi hormon pertumbuhan pada medium
kultur jaringan sangat berperan dalam morfogenesis (Ali et al, 2007).
Auksin menyebabkan perpanjangan batang, internode,
tropism, apikal dominan, absisi dan perakaran. Dalam kultur jaringan auksin
digunakan untuk pembelahan sel dan diferensiasi akar (Yusnita, 2004). Selain
itu keberhasilan kultur jaringan tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya sterilisasi, pemilihan bahan eksplan, faktor lingkungan seperti pH,
cahaya dan temperatur (Hendaryono dkk. 1994). Kehadiran zat pengatur tumbuh
sangat penting didalam teknik kultur jaringan.
Faktor yang perlu mendaptkan perhatian dalam pengggunaan ZPT antara lain jenis ZPT dan
konsentrasi yang digunakan. IAA merupakan golongan auksin yang digunakan pada tanaman
kentang (Solanum tuberosum.L) konsentrasi antara 1.01- 10 mg/l air
(Bhojwani dan Razdan, 1983).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh jenis auksin (NAA, IBA dan IAA) terhadap induksi umbi
mikro pada tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) ?
2.
Pada konsentrasi berapa pemberian jenis
auksin (NAA, IBA dan IAA) yang paling efektif
terhadap induksi umbi mikro tanaman kentang (solanum tuberosum L.) ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui
pengaruh jenis
auksin (IAA, IBA dan NAA)
terhadap induksi
umbi mikro pada tanaman kentang
(Solanum
tuberosum L.).
2. Mengetahui jenis auksin (IAA, IBA dan NAA) yang paling efektif terhadap induksi umbi mikro pada
tanaman kentang (solanum tuberosum L.).
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan ini
adalah :
1.
Bagi masyarakat umum, memberikan informasi tentang
peningkatan jumlah produksi bibit tanaman kentang dengan menggunakan ZPT
auksin.
2.
Mendapatkan bibit tanaman kentang yang homogeny atau umur dan ukuran
yang sama dalam waktu yang cukup singkat menggunakan umbi mikro.
1.5
Hipotesis
Hipotesis dalam
penelitiannya ini:
1. Pengaruh
jenis
auksin (IAA, IBA dan NAA)
terhadap induksi
umbi mikro pada tanaman kentang
(Solanum
tuberosum L.).
2. Terdapat jenis auksin yang efektif terhadap induksi tanaman kentang melalui umbi mikro.
BAB 2. TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Tanaman kentang (Solanum
tuberosum L.).
Kentang memiliki nama ilmiah Solanum tuberosum L. Dalam dunia
tumbuhan, kentang diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisi :
Spermatophyta
Subdivisi :
Angiospermae
Kelas :
Dicotyledonae
Ordo :
Solanales
Famili :
Solanaceae
Genus :
Solanum
Spesies :
S. tuberosum L.
Kentang (S.
tuberosum L.) adalah tanaman dari
suku Solanaceae yang memiliki umbi batang yang dapat dimakan dan disebut
"kentang" pula. Tanaman ini berasal dari daerah subtropika, yaitu
dataran tinggi Andes Amerika Utara. Daerah yang cocok untuk budi daya kentang
adalah dataran tinggi atau pegunungan dengan ketinggian 1.000-1.300 meter di
atas permukaan laut, curah hujan 1.500 mm per tahun, suhu rata-rata harian
18-21◦C, serta kelembaban udara 80-90 persen. Tanaman kentang adalah salah satu
tanaman budidaya tetraploid (2n = 4x = 40) yang merupakan herba (tanaman pendek
tidak berkayu) semusim. Kentang membentuk umbi di bawah permukaan tanah dan
menjadi sarana perbanyakan secara vegetatif. Dalam budidaya kentang,
perbanyakan dilakukan melalui model ini sehingga keragaman kentang di ladang
sangat rendah (Gklinis, 2009).
Kentang merupakan tanaman dikotil
bersifat musiman, berbentuk semak/herba dengan filotaksis spiral. Tanaman ini
pada umumnya ditanam dari umbi (vegetatif) sehingga sifat tanaman generasi berikutnya
sama dengan induknya. Stolon tumbuh secara horizontal sepanjang 12,5-30 cm,
menebal bagian ujungnya untuk membentuk umbi. Periode inisiasi pembentukan umbi
terjadi pada 5-7 minggu setelah tanam. Pada saat ini, tinggi bagian tanaman
yang tumbuh di atas permukaan tanah berkisar antara 15-30 cm. Jumlah umbiyang
tinggi memerlukan kondisi yang baik selama minggu pertama dan kedua periode
inisiasi pembentukan umbi (Adiyoga et al., 2004).
Stolon kentang adalah pucuk lateral,
biasanya tumbuh dari nodia paling pangkal dibawah permukaan tanah. Stolon
tersebut merupakan pucuk diageotropik dengan internodia yang panjang, berbentuk
seperti kait pada ujungnya dan susunan daunnya membentuk spiral dengan jarak
tertentu. Ketika umbi berkembang, akan terbentuk dari daerah sub apikal stolon.
Pembentukan umbi terkait dengan dua proses yaitu pembentukan stolon dan
pembentukan umbi pada ujung stolon (Harris, 1978).
Wiersema (1987) mengungkapkan bahwa pada
kepadatan batang yang rendah, terjadi persaingan antar batang yang lebih kecil,
menghasilkan jumlah umbi yang banyak per batangnya, namun, tiap unit area lebih
sedikit. 4 Xviii Sebaliknya, ketika kepadatan batang meningkat, jumlah umbi per
batang menurun, namun jumlah umbi per area umumnya meningkat.
Pembentukan umbi membutuhkan panjang
penyinaran (fotoperiodisi tas) yang pendek, sedangkan untuk pembentukan bunga
memerlukan hari panjang antara 16-18 jam. Di daerah tropis dengan
fotoperiodisitas yang pendek (antara 12-13 jam), pembentukan umbi dimulai lebih
cepat, pertumbuhan daun-daun cepat terhenti, dan kematian daun juga lebih cepat
sehingga secara keseluruhan masa pertumbuhannya lebih pendek (Soelarso, 1997).
Pati kentang mengandung amilosa dan
amilopektin dengan perbandingan 1:3. Dari tepung dan pati kentang, selanjutnya
dihasilkan berbagai produk pangan olahan dengan beragam cita rasa yang enak dan
penampilan menarik. Kandungan karbohidrat pada kentang mencapai sekitar 18
persen, protein 2,4 persen dan lemak 0,1 persen. Total energi yang diperoleh
dari 100 gram kentang adalah sekitar 80 kkal. Dibandingkan beras, kandungan
karbohidrat, protein, lemak, dan energi kentang lebih rendah. Namun, jika
dibandingkan dengan umbi-umbian lain seperti singkong, ubi jalar, dan talas,
komposisi gizi kentang masih relatif lebih baik (Astawan, 2004).
Kentang adalah sumber karbohidrat yang
juga kaya mineral dan vitamin. Khasiat dari kentang antara lain adalah mencegah
kanker, pengobatan asam urat, ginjal, sistem lambung dan jantung, untuk
kesehatan lever, jaringan otot, untuk proses peremajaan kulit. Kandungan gizi
kentang dalam 100 gr kentang antara lain: Protein 2,00 gr, lemak 0,30 gr,
karbohidrat 19,10 gr, kalsium 11,00 mg, fosfor 56,00 mg, serat 0,30 gr, besi
0,30 mg, vitamin B1 0.09 mg, vitamin B2 0,03 mg, vitamin C 16,00 mg, dan niacin
1,40 mg. Namun demikian terdapat zat racun yang terkandung dalam kentang yaitu
Solanin. Kentang yang mengandung zat ini diindikasikan berwarna hijau
(Mlandhing, 2008).
2.2 Umbi makro
Umbi mikro merupakan umbi yang dihasilkan
planlet in vitro. Umbi mikro lebih mudah ditangani selama proses pengiriman,
distribusi, serta penyimpanan karena ukurannya yang relatif kecil (Perez-Alonso
et al. 2010). Namun pemanfaatannya masih belum optimal, karena masih
terkendala oleh terbatasnya informasi potensi daya hasil umbi mikro dalam
menghasilkan benih umbi mini. Padahal telah banyak publikasi yang melaporkan
pemanfaatan umbi mikro dalam
pertukaran
plasma nutfah, sebagai benih dasar dalam produksi benih kentang terutama
sebagai bahan dalam memproduksi umbi mini (Zamora et al. 1994,
Ranalli et al. 1994, Donelly et al. 2003, Kanwal et al. 2006,
Badoni dan Chauhan 2009, Nistor et al. 2010, Bolandi et al. 2011).
Menurut Donelly et al. (2003)
beberapa penelitian menunjukkan bahwa umbi mikro dapat dimanfaatkan dalam
produksi benih berupa generasi awal (Go) maupun generasi lanjut bergantung pada
kondisi lingkungan untuk memenuhi standar mutu benih yang diharapkan. Untuk
penanaman di lapangan disarankan agar petani penangkar menggunakan umbi mikro
dengan ukuran diameter 5-15 mm (Santos dan Rodriguez 2008).
Beberapa faktor yang memengaruhi produksi
umbi mikro antara lain genotip (Dhital dan Lim 2004, Otroshy et al. 2009,
Aslam dan Iqbal 2010, Nistor et al. 2010), media yang meliputi sumber
dan konsentrasi karbon (Altindal dan Karadogan 2010), tanpa atau dengan
kombinasi zat pengatur tumbuh sitokinin (Rafique et al. 2004, Uranbey
2005, Zakaria et al. 2008, Aslam dan Iqbal 2010), antigiberelin
(Larekeng et al. 2009, Masniawati et al. 2009, Dwiati dan
Anggorowati 2011), chlorocholine chloride (Zakaria et al. 2008,
Imani et al. 2010), ventilasi kultur (Mobini et al. 2009), suhu
(Uranbey et al. 2004, Otroshy et al. 2009), bahan pemadat
media (Uranbey et al. 2004), dan panjang penyinaran (Uranbey 2005). Teknik
pengumbian in vitro dapat dilakukan langsung dari penanaman eksplan pada
media pertumbuhan yang sekaligus merupakan media pengumbian
(Rafique et al. 2004, Uranbey 2005) dan tidak langsung melalui dua tahap, yaitu pertumbuhan planlet dan kemudian
periode pengumbian (Piao et al. 2003, Perez-Alonso et al. 2010,
Nistor et al. 2010). Untuk komersialisasi dan otomatisasi,
produksi umbi mikro secara massal dikembangkan menggunakan bioreactor
(Ebadi et al. 2002, Piao et al. 2003, Ebadi et al. 2007),
dan media dengan perendaman secara temporer yang menunjukan hasil lebih baik
daripada kultur pada perendaman yang terus menerus (Perez-Alonso etal. 2010).
2.3 AUKSIN
Istilah auksin (dari bahasa yunani auxein “meningkat) pertama kali
digunakan oleh Frits Went, seorang mahasiswa pasca sarjana dinegeri belanda
pada tahun 1926, yang menemukan bahwa sesuatu senyawa yang belum dapat
dicirikan mungkin penyebab kebengkokan koleoptil oat kearah cahaya. Fenomena pembengkokan ini yang disebut
fototropisme.senyawa yang ditemukan Went didapati cukup banyaak di ujing
koleopati (Salisbury dan ross, 1992).
Auksin yang ditemukan
Went kini diketahui sebagai asam indolasetat (IAA) dan beberapa ahli fisiologi
masih menyamakan IAA dengan auksin. Namun, tumbuhan mengandung tiga senyawa
lain yang strukturnya mirip dengan IAA dan menyebabkan banyak respons yang sama
dengan IAA ketiga senyawa tersebut dianggap sebagai hormone auksin. Salah
satunya adalah asam 4-kloroindolasetat (4-klorosetatIAA), yang ditemukan pada
biji muda berbagai jenis kacang-kacang (Engvild, 1986). Yang lainnya, asam
fenilasetat (PPA) ditemukan pada banyak jenis tumbuhan dan sering lebih banyak
jumlahnya padipada IAA, walaupun kurang aktif dalam menimbulkan respons khas
IAA (Weightman dan Lighty, 1982; Leuba dan Le tomeau, 1990). Yang ketiga asam
indolbutirat (IBA) yang ditemukan belakangan. Semula diduga hanya merupakan
auksin tiruan yang aktif namun ternyata ditemukan pada ujung daun jagung dan
berbagai jenis tumbuhan dikotil (Schneider dkk, 1985; Epstein dkk, 1989)
sehingga barang kali zat tersebut tersebar luas pada dunia tumbuhan.
2.4
IAA (Indole
Acetic Acid)
Secara
kimia, IAA mirip dengna asam amino triptofan (walaupun sering 1000 kali lebih
encer) dan barangkali memang disintesis dan triptofan. Ada dua mekanisme
sintesis yang dikenal dan keduanya meliputi pengusiran gugus asam amino dan
gugus karboksil akhir dari cincin samping triptofan (Sembdner dkk, 1980; Cohen
dan Bialek, 1984; Reinecke dan bandurski, 1987). Lintasan yang lebih banyak
terjadi pada sebagian besar spesies barangkali mencangkup tahapan berikut:
gugus amino bergabung dengan sebuah asam amino a-keto melalui reaksi transaminase menjadi asam indolpiruvant,
kemudian dekarboksilasi indopiruvat
membentuk indolasetaldehid; akirnya indolasetaldehid dioksidasi menjadi
IAA terdapat di jaringan muda, seperti meristem tajuk, serta daun dan buah yan
gsedang tumbuh, Disemua jaringan ini kandungan auksin juga paling tinggi yang
menunjukkan bahwa IAA memang disintesis dibagian tersebut (Salibury dan ross,
1992).
Hal yang mengherankan
mengenai kumpulan IAA sebagai hormone ialah caranya diangkut dari satu organ
atau jaringan ke organ atau jaringan yang lain. Berlainan dengan pergerakan
gula, ion dan linarut tertentu lainnya, IAA biasanya tidak dipindahkan melalui
tabung tipis floem atau melalui xylem, tapi terutama melalui sel parenkima yang
bersinggungan dengan bekas pembuluh (Jacobs, 1979; Aloni, 1987b) dalam
Salisbury dan ross,1992).
Iaa terdapat diakar,
pada kosentrasi yang hampir sama dengan bagian tumbuhan lainnya. Seperti
pertama kali dikemukakan pada tahun 1930an, pemberian auksin memacu pemanjangan
potongan akar atau bahkan akar utuh pada banyak spesies, tapi hanya pada
kosentrasi yang sangat rendah (10‾7 sampai 10-13 M,
bergantung pada spesies dan umur akar). Pada kosentrasi yang lebih tinggi (tapi
masih cukup rendah antara 1 sampai 10 M), pemanjangan hampir selalu terlambat.
Diperkirakan, sel akar umumnya mengandung cukup atau hampir cukup auksin untuk
memanjang secara normal. Memang banyak potongan akar belum tumbuh selama
beberapa hari atau beberapa minggu in vitro tanpa penambahan aiksin, yang
menandakan bahwa kebutuhan akan hormone ini sudah terpenuhi dan hasil sintesisi
sendiri (Salisbury dan ross, 1992).
2.4 IBA (Indole Butyric Acid)
Zat pengatu tumbuh yang
sering digunakan untuk merangsang pertumbuhan adalah indolebutyric acid (IBA),
indoleacetic acid (IAA) dan napthaleneacetic acid (NAA). IBA dan NAA lebih
efektif dari pada IAA, sebab keduanya ebih stabil digunakan dalam penyetekan.
IBA dan NAA lebih stabil terhadap oksidase dan cahaya (Zaerr dan Mapes, 1982).menurut Salisbury dan
Ross (1992, NAA lebih efektif dari IAA karena NAA tidak dapat dirusak oleh IAA
oksidase atau enzim lainnya, sehingga bertahan lebih lama. Sedangkan IBA lazim
digunakan untuk memacu perakaran dibandingkan dengan NA atau auksin lainnya.
Menurut Ponganan (2004)
menjelaskan bahwa NAA dan IBA mempunyai sifat translokasi yang lambat dan
persisitensi tinggi serta aktivitas yang rendah sehingga selang perakaran cukup
besar. Selain itu dalam penelitian ini juga ddigunakan IAA untuk mengujian.
Menurut Wattimena (1991) menjelaskan bahwa IAA merupakan salah satu hormone
tumbuh yang berperan untuk memacu pertumbuhan sepanjang sumbu longitudinal. Hal
spesifik yang terlihat berupa peningkatan pembesaran sel yang langsung ke
segala arah secara isodiametric.
2.5
NAA
(Napthanleneaacetic
Acid)
NAA adalah hormon sintetis pada tanaman
dari golongan auksin dan merupakan bahan dalam perakaran produk hortikultura
untuk perbanyakan tanaman secara komersial; NAA adalah agen perakaran
damndigunakan untuk perbanyakan vegetatif tanaman dari batang dan pemotongan
daun . Hal ini juga digunakan untuk kultur jaringan tanaman, hormon NAA tidak terbentuk
secara alami dan sama seperti semua auksin yang merupakan racun bagi tanaman
pada konsentrasi tertinggi, di Amerika Serikat dibawah Federal Insektisida,
fingisida dan undang-undang Rodenticide (FIFRA), produk yang mengandung NAA
memerlukan pendaftaran dengan Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) sebagai
pestisida (Morikawa, 2004).
NAA secara luas di gunakan di bidang pertanian untuk berbagai tujuan.
Hal ini dianggap hanya sedikit beracun tetapi ketika pada konsentrasi yang
lebih tinggi dapat menjadi racun bagi hewan. Hal ini terlihat ketika diuji pada
tikus melaui konsumsi oral 1000-5900 mg/kg (Tomlin, 2006).
NAA telah terbukti untuk meningkatkan pembentukan serat selulosa pada
tanaman ketika di kombinasikan dengan hormon tumbuhan lain yang di sebut asa
giberelat. Karena dalam golongan auksin itu juga telah di pahami untuk mencegah
pematangan buah sebelum waktunya dan penipisan buah-buahan dari batang. Hal ini
diterapkan setelah penyerbukan bunga. Peningkatan jumlah sebenarnya dapat
memiliki efek negetif dan menyebabkan hambatan pertumbuhan untuk pengembangan
tanaman. NAA telah digunakan pada banyak tanaman yang berbeda termasuk apel,
jeruk, kentang dan berbagai buah-buahan tergantung lainnya. Dalam rangka untuk
mendapatkan efek yang di inginkan harus diterapkan dalam konsentrasi mulai
20-100 ug/mL (Navalon, 1997).
BAB
3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian
dilaksanakan pada bulan April hingga Juni tahun 2017 di Laboratorium Kultur
Jaringan Politeknik Negeri Jember.
3.2
Rancangan Penelitian
Penelitian
ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan menggunakan metode
non faktorial, 4 perlakuan dan setiap perlakuan diulang sebanyak lima kali.
Masing-masing unit terdiri dari dua botol, jumlah botol 40, jumlah eksplan
setiap botol tiga eksplan jumlah eksplan keseluruhan 120, kebutuhan media
setiap botol kultur 25 ml, kebutuhan total media setiap perlakuan 250 ml dan
kebutuhan total media dasar yang digunakan 1000 ml.
Non
faktor komposisi media yang terdiri atas
4 perlakuan, yaitu:
P0 = ½ MS + 6 mgr/l Agar
+ 90 g/l gula +
3 ppm BAP
P1 = ½ MS + 6m gr/l Agar + 90g/l gula +
3
ppm + 0,25 NAA
P2 = ½ MS + 6 mgr/l Agar+
90g/l
gula + 3 ppm BAP + 0,25 IAA
P3 = ½ MS + 6 mgr/l Agar+ 90g/l gula+ 3 ppm BAP + 0,25 IBA
3.3 Alat dan Bahan
Penelitian
3.3.1
Alat
Penelitian ini menggunakan alat : pinset, botol
kultur, petridish, lampu Bunsen, pisau scalpel, autoclave, LAF.
3.3.2
Bahan
Penelitian ini menggunakan bahan tanaman yang
digunakan : bagian ruas tanaman kentang, media ½ Murashige-Skoog (MS), zat
pengatur tumbuh 0.75 ppm BAP, zat pengatur tumbuh 0.0625 NAA, zat pengatur tumbuh 0.0625 IAA,
zat pengatur tumbuh 0.0625 IBA, agar 1.5 mg/250ml, gula 22.5 g/250ml Aquades,
detergen. Alkohol.
Langkah
Kerja
3.3.3
Sterilisasi
alat
1. Menyiapkan
alat dan bahan
2. Mencuci botol
dengan sabun cair menggunakan spons dan sikat hingga bersih lalu bilas dengan
air bersih
3.
Mengering anginkan botol dengan menggunakan lap bersih, susun rapi kedalam oven
4.
Masukkan ke dalam autoclave pada suhu 121o C selama 60 menit pada tekanan 175 psi (pound
per square inch)
5.
Alat-alat yang disterilkan sebelum
pemanasan adalah pinset,gunting ,botol kosong.
6.
Alat-alat dan kertas saring dibungkus rapi
dengan kantong plastik yang disealer sebelum dimasukkan ke dalam autoclave.
Alumunium foil tidak dianjurkan sebagai pembungkus karena uap air tidak dapat
masuk kedalam pembungkus.
7.
Alat-alat seperti pinset,gunting,gagang
scalpel dibungkus dengan plastik yang telah disealer
8.
Petridish dan tutup botol disterilkan
dengan pembungkus plastik yang sudah disealer
9.
Selanjutnya autoclave dibuka dan peralatan
yang telah disterilisasi diambil
10. Mengering anginkan semua peralatan, simpan dengan rapi dan ditempat
yang bersih.
3.3.4
Pembuatan
media
1. Mempersiapkan alat dan bahan
2. Memasukkan larutan stock satu per satu
kedalam wadah, urutkan larutan stock dari A-H agar tidak ada yang terlewat saat
pengambilan larutan
3. Menimbang agar dan gula
4. Melarutkan gula
5. Menambah larutan gula kedalam
larutan stock
6. Menambah aquades sampai dengan
volume yang terukur
7. Mengukur Ph 5,8
8. Memasukan agar kedalam larutan
9. Menambah aquades sampai dengan
volume yang diinginkan
10. Melarutkn agar dengan cara memasak
di kompor sampai media larut/mendidih
11.
Membagi larutan tersebut kedalam botol media
12.
Mensterilkan media menggunakan autoclaf
3.3.5
Penanaman
eksplan
1. Menyiapkan alat dan bahan
2. Sebelum kita bekerja di dalam
laminar air flow, semua perhiasan tangan harus dilepas, dan tangan dibasuh
terlebih dahulu dengan alkohol 70%.
3. Membersihkan LAF dengan menggunakan
alcohol
4. Alat-alat dan lampu di letakkan di
sebelah kiri dan lampu bunsen diletakkan jauh dari alkohol
5. Pinset dan scalpel sebelum digunakan
di LAF terlebih dahulu dengan mencelupkannya kedalam alkohol 96 % dan di bakar
dibakar diatas lampu bunsen sampai padam sendiri dan didiamkan sejenak agar
pinset dan scalpel dingin
6. Media disiapkan, tutup botol
(alumunium foil) dibuka dengan hati-hati dan di letakkan disebelah kanan. Botol
dipegang dengan tangan kiri dan dalam keaadaan miring mulut botol di flamir
diatas lampu bunsen.
7. Eksplan diambil dengan menggunakan
pinset steril yang sudah dingin, kemuadian dimasukkan ke dalam medium untuk
ditanam, penanaman dilakukan dengan api bunsen.
8. Botol ditutup rapat dengan alumunium
foil dan beri wraping plastic agar idak ada celah udara yang masuk pada
alumunium foil
9. Beri label pada masing-masing botol
kultur
10. Botol kultur disimpan diruang
inkubasi
3.3.6 Parameter
3.3.6.1 Jumlah kalus
Jumlah kalus diamati pada pengamatan terakhir yaitu
dengan cara menghitung kalus per tanaman disetiap botol dan setelah dihitung
semuanya perbotol.
3.3.6.2
Jumlah Tunas
Jumlah tunas diamati pada pengamatan terakhir yaitu
dengan cara menghitung tunas lateral per tanaman disetiap botol dan setelah
dihitung semuanya perbotol.
3.3.6.3
Panjang
Tunas
Panjang tunas diamati pada pengamatan terakhir yaitu
dengan cara menghitung tinggi tunas per tanaman disetiap botol dan setelah
dihitung semuanya perbotol.
3.3.6.4
Jumlah Akar
Jumlah akar diamati pada pengamatan terakhir yaitu
dengan cara menghitung semua per tanaman disetiap botol dan setelah dihitung
semuanya perbotol.
3.3.6.5
Panjang akar
Panjang akar diamati hari setelah
tanam panjang mencapai 0.01 mm. dengan cara mengamati secara visual (dengan
mata telanjang)
3.3.6.6
Jumlah Umbi
Jumlah umbi diamati
pada pengamatan terakhir yaitu dengan cara menghitung semua umbil per tanaman
disetiap botol dan setelah dihitung semuanya perbotol.
3.3.6.7
Jumlah daun
Jumlah
daun diamati pada pengamatan terakhir yaitu dengan cara menghitung jumlah daun
per tanaman disetiap botol dan setelah dihitung semuanya perbotol.
BAB
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini
ditemukan kultur media 1 botol terkontaminasi oleh jamur hal ini di duga akibat
proses sterilisasi berjalan tidak baik, dipengaruhi oleh penutupan botol kultur
yang kurang rapat sehingga mikroorganisme masuk kedalam botol dan mengakibatkan
media terkontaminasi dan 7 botol kultur terkontaminasi oleh jamur ciri-cirinya
disekitar eksplan terdapat jamur hal ini dipengaruhi oleh terlalu kecilnya
ukuran eksplan sehingga petridish menyentuh media disekitar eksplan, pada saat
melakukan inokulasi jauh dari lampu Bunsen, pemotongan eksplan yang kurang
hati-hati sehingga sebagian el-sel jaringan meristem rusak. Sel-sel tersebut
dapat juga mati karena pengaruh panas dari alat yang digunakan pada waktu
pemotongan atau penanaman eksplan.
Kontaminasi merupakan
factor pembatas keberhasilan kultur jaringan yang berasal dari :
1. Bahan
tanaman baik eskternal maupun internal
2. Organisme
kecil yang masuk pada media
3. Botol
kultur dan peralatan kurang steril
4. Lingkungan
kerja dan ruang kultur
5. Kecerobohan
dalam pelaksanaan
Dari seluruh eksplan
yang ditanam, hanya 18% yang dapat tumbuh menjadi planlet pada pada pengamatan
MSI. Perlakuan yang mampu mendorong jaringan meristemnya tumbuh menjadi planlet
adalah perlakuan N (NAA 0,01 mg/l dan 2-ip 0,01 mg/l). penumbuhan jaringan
meristem ntuk tujuan eliminasi penyakit sistemik diharapkan tidak membentuk
kalus. Walaupun demikian, kalus terbentuk pada perlakuan (NAA 0,10 mg/l dan
0.01 mg/l 2-ip), (NAA 0,01 mg/l dan 2-ip 0,05 mg/l), dan (NAA 0,10 mg/l dan
2-ip 0,05 mg/l), karjadi (2005).
Pertumbuhan dan
perkembangan eksplan terlihat pada umur 2 msi munculnya tunas dan panjang tunas
mulai terlihat tetapi panjang daun, jumlah daun, panjang akar, jumlah akar,
jumlah umbi, jumlah kalus baru terlihat 6-7 msi. Hal ini dipengaruhi oleh zpt
yaitu NAA, IAA, IBA dan BAP.
Data tabel 1.
Memperlihatkan bahwa jumlah tunas tidak memperlihatkan signifikan hal ini
dipengaruhi oleh gula 90 mg/l kandungan karbohidrat mengubah gula sederhana
yang diteruskan pada tanaman, sehingga gulan 90 mg/l mempengaruhi jumlah daun,
jumlah umbi, jumlah akar, panjang akar, jumlah kalus, dan panjang tunas
berpengaruh sangat signifikan. Gula sederhana pada daun membantu proses
fotosintesis sehingga hasil dari fotosintesis energy yang dihasilkan disebar
pada seluruh tanaman terutama pada umbi. Di dalam umbi terdapat hasil
penyimpanan karbohidrat dan pada akar dalam proses pembelahan sel-sel yang
dibantu oleh zpt auksin akan mempenngaruhi jumlah akar dan panjang akar, pada
jumlah tunas dipengaruhi oleh proses pembentukan, pembelahan, perkembangbiakan
dipengaruhi oleh BAP sehingga muncul kalus pada zpt IAA.
Tabel 1. Rerata jumlah daun, jumlah
umbi, jumlah tunas, jumlah akar, panjang akar, jumlah kalus dam panjang tunas.
|
|
|
|
Parameter
|
|
|
|
|
Medium
|
Perlakuan
|
∑ daun
|
∑ umbi
|
∑ tunas
|
∑ akar
|
panjang akar
|
∑ kalus
|
panjang tunas
|
A
|
1/2 Ms+6 mg/l+90 g/l+3
ppm BAP
|
1.566 B
|
1.4 A
|
1.436 Ns
|
1.234 B
|
0.474 B
|
0 B
|
0.504 B
|
B
|
1/2 Ms+6 mg/l+90 g/l+3
ppm BAP+0.25 NAA
|
1.548 B
|
1.534 A
|
1.05 Ns
|
1.3 B
|
0.22 B
|
0.2 B
|
0.674 AB
|
C
|
1/2 Ms+6mg/l+90 g/l+3
ppm BAP+0.25 IAA
|
1.684 AB
|
1.068 B
|
1.502 Ns
|
1.618 A
|
0.774 A
|
1A
|
0.578 AB
|
D
|
1/2 Ms+6mg/l+90 g/l+3 ppm BAP+0.25 IBA
|
2.566 A
|
1.034 B
|
1.568 Ns
|
1.284 B
|
0.424 B
|
0.2 B
|
0.818 A
|
Angka-angka pada
baris dan kolom yang diikuti huruf kecil yang sam tidak berbeda nyata menurut
uji lanjut beda nyata jujur (BNJ) pada taraf 10%.
Diagram
batang 1. pengamatan 7 MSI
Pada diagram batang 1 pengamatan
terhadap pertumbuhan dan perkembangan kemtang selama 7 MSI (minggu setelah
inokulasi). Hasil menunjukkan bahwa bahwa setiap minggunya mengalami
pertumbuhan dan perkembangan. Pada parameter jumlah daun dan pada perlakuan IBA
hal ini dibantu oleh gula 90 mg/l membantu dalam proses pembentukan sel dan
perpanjangan sel.
4.1
jumlah daun
Hasil
sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan konsentrasi IBA berpengaruh sangat nyata
terhadap jumlah daun dan panjang daun. Pembentukan daun diawali dengan inisiasi
primodia daun yang diikuti dengan proses pembelahan sel, pembesaran sel, dan
diferensiasi, kehadiran sitokinin akan berperan dalam proses pembelahan dan
pembesaran sel, yang pada akhirnya akan mengarah pada pembentukan organ.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa kehadiran
sitokinin dalam pertumbuhan daun terutama berperan dalam proses pembentukan
jaringan mesofil. auksin memiliki peran dalam pertumbuhan daun terutama dalam
hal pembentukan tulang akarnya, meskipun tanaman gagal membentukan jaringan
mesofil daun, namun tanaman tetap mampu membentuk pembuluh angkut pada daun
karena pucuk sebagai sumber auksin masih ada. secara terpisah auksin dan
sitokinin memang memiliki fungsi yang antagonis, namun dalam kenyataannya untuk
menghasilkan suatu respon fisiologi tertentu diperlukan interaksi kerja di
antara keduanya.
Diagram batang 2. Jumlah daun
4.2
jumlah akar dan panjang akar
Jumlah
akar dan panjang akar pada penambahan ZPT IAA berpengaruh nyata. Akar yang
terbentuk merupakan jenis akar adventif karena berasal dari jaringan yang tidak
memiliki preexisting meristem akar. Hasil dari sidik ragam menunjukan bahwa
pemberian IAA secara tunggal berpengaruh nyata terhadap jumlah akar yang
terbentuk. IAA memberikan memberikan pengaruh sangat nyata.
Rata-rata
jumlah akar terbanyak pada penelitian ini diperoleh pada perlakuan media ½ MS dan IAA yaitu sebanyak 7 akar. Hal
tersebut diduga karena tanaman krisan telah memiliki kandungan auksin endogen
yang cukup tinggi. seringkali sekelompok sel dalam suatu eksplan mampu
memproduksi auksin endogen yang cukup untuk aktivasi sel itu sendiri.
Diagram
batang 3. Jumlah akar dan panjang akar
4.3
pembentukan kalus
Selama
masa pengamatan, terdapat respon pembentukan kalus pada beberapa eksplan.
Pembentukan kalus pada kultur in vitro akan terjadi akibat perimbangan
konsentrasi auksin dan sitokinin pada tingkatan tertentu. Kalus mulai terbentuk
mulai MSK dan terus berlanjuthingga
minggu berikutnya. Eksplan yang membentuk kalus beberapa di antaranya mampu
membentuk akar dan tunas, namun ada pula yang masih terbentuk kalus hingga
akhir masa pengamatan. Kalus yang terbentuk umumnya mempunyai struktur kompak
dan berwarna hijau.
Besarnya
presentase eskplan yang membentuk kalus juga didukung oleh jenis eksplan yang
digunakan yakni stek buku tunggal di mana bagian ujung atas dan bawah eksplan
membentuk luka bekas pemotongan luka bekas pemotongan buku. kalus dapat
terbentuk akibat adanya perlakuan pada suatu jaringan tumbuhan. Selanjutnya
sel-sel pada jaringan yagn terluka itu memperbaiki diri dengan jalan
membentangkan dinding sel dan menyerap banyak air hingga sel membengkak. Proses
selanjutnya ialah sel membelah secara cepat hingga menghasilkan masa sel yang
belum terdiferensiasi yang disebut kalus.
Seleksi
eksplan yang cocok merupakan hal yang penting dalam hal menentukan keberhasilan
dalam kultur jaringan. Apalagi eksplan yang kurang steril akan ditanam
kemungkinan besar mikroorganisme yang terbawa eksplan akan berkembang tumbuh
dengan cepat, sehingga akan menutupi media kultur jaringan.
Kemungkinan
besar yang mengakibatkan kontaminan diantaranya berasal dari eksplan yang
kurang steril, orang yang melakukan kultur jaringan kontaminasi karena eksplan
yang kurang steril kemudian dilukai maka mikroorganisme yang terbawa oleh
eksplan dan ditambah lagi dengan sang pelaku banyak bicara, maka mikroorganisme
tersebut berkembang tumbuh dengan cepat sehingga media kultur tertutupi oleh
jamur.
Kontaminasi
yang terdapat pada eksplan terdapat dua cendawan yang berwarna hitam dan putih.
Pada cendawan yang berwarna hitam termasuk dengan cendawan Aspergilus dengan
ciri-ciri mempunyai hifa berselaput dan miselium bercabang, sedangkan hifa yang
muncul diatas permukaan merupakan hifa fertile, koloninya berkelompok,
konidiofora berseptat atau nonselaput yang muncul dari sel kaki, pada ujung
hifa muncul sebuah gelembung, keluar dari gelembung ini muncul sterigma, pada sterigma
muncul konidium-konidium yang tersusun berurutan mirip bentuk untaian mutiara,
konidium-konidium ini berwarna (hitam, coklat, kuning tua, hijau) yang memberi
warna tertentu pada jamur
Diagram batang 4. Jumlah kalus
4.4
jumlah tunas dan panjang tunas
Pada
minggu pertama setelah sub kultur (1MSK), presentase eskplan yang telah
membentuk tunas sebanyak 0% suatu eksplan rata-rata hanya menghasilkan satu
tunas saja. Pada umur 2 MSK tunas yang terbentuk mulai membentuk daunnya dan
mulai memperlihatkan pertumbuhan yang cukup jelas. Pada akhir pengamatan (7MSK)
presentase eksplan yang membentuk tunas mencapai 100% ekslpan yang membentuk
tunas umumnya berupa eksplan yang hanya mendapat pelakuan tunggal IBA dan
perlakuan interaksi penambahan IBA berpengaruh nyata jumlah tunas.
Hasil
uji F menunjukan bahwa hasil perlakuan konsentrasi tunggal IBA memberikan
pengaruh nyata terhadap jumlah tunas pada 7 MSK.
Diagram
batang 5. Jumlah tunas dan panjang tunas
4.5
jumlah umbi
Jumlah umbi pada penambahan ZPT NAA berpengaruh nyata.. Hasil dari sidik ragam
menunjukan bahwa pemberian NAA secara tunggal berpengaruh sangat nyata terhadap
jumlah umbi yang terbentuk. NAA memberikan memberikan pengaruh sangat nyata.
Rata-rata jumlah akar terbanyak pada penelitian ini diperoleh pada perlakuan
media ½ MS dan NAA menumbuhkan umbi. Hal
tersebut diduga karena dibantu oleh gula 90 mg/l yang mengandung karbohidrat
yang manpu membantu pembelahan sel dalam pembentukan umbi
Diagram
batang 6. Jumlah umbi
BAB
5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1.
Panjang tunas tidak berpengaruh nyata terhadap pemberian 0.25 IAA, 0.25 IBA,
0.25 NAA dan control
2.panjang
akar,jumlah akar, jumlah kalus, jumlah tunas, panjang kalus, jumlah daun dan
jumlah umbi sangat berpengaruh nyata terhadap pemberian 0.25 IAA, 0.25 IBA,
0.25 NAA dan control
3.
Pembuntan umbi dipengaruhi oleh BAP dan gula
DAFTAR PUSTAKA
Hartanto,
D. 2009. Induksi Umbi Mikro Tanaman
Daun Dewa (Gynura pseudochina (Lour.)DC) Secara In Vitro Pada Beberapa
Konsentrasi Sukrosa dan Retardan. Skripsi. Program Studi Agronomi
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Kusumaningrum,
I.S. 2007. Evaluasi Pertumbuhan In
Vitro dan Produksi Umbi Mikro Beberapa Klon Kentang (Solanumtuberosum L.) Hasil
Persilangan Kultivar Atlantik dan Granola. Skripsi. Program Studi
Hortikultura Fakultas Pertanian Bogor
Prasetyo,
Kurniawan Adi. 2016. Efektifitas Beberapa
Auksin ( IAA, NAA dan IBA) Terhadap Pertumbuhan Tanaman Zaitun (olea europaea
L) Melalui Stek Mikro. Skripsi. Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang.
Hidayat, I. M. 2011. Produksi Benih Sumber (G0) Beberapa Varietas Kentang dari Umbi Mikro J. Hort. Vol. 21 No. 3, 2011. Diakses pada tanggal 22 Maret
2017
Hartanto,
D. 2009. Induksi Umbi Mikro Tanaman
Daun Dewa (Gynura pseudochina (Lour.)DC) Secara In Vitro Pada Beberapa
Konsentrasi Sukrosa dan Retardan. Skripsi. Program Studi Agronomi
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Kusumaningrum,
I.S. 2007. Evaluasi Pertumbuhan In
Vitro dan Produksi Umbi Mikro Beberapa Klon Kentang (Solanumtuberosum L.) Hasil
Persilangan Kultivar Atlantik dan Granola. Skripsi. Program Studi
Hortikultura Fakultas Pertanian Bogor
Gunarto, A. 2007. Prospek Agribisnis
Kentang G4 Sertifikat Di Kabupaten Sukabumi. Pusat Pengkajian dan Penerapan
Teknik Budidaya Pertanian.
Yuwono.
2006. Bioteknologi Pertanian. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Gunawan, L. W. 1998. Teknik Kultur
Jaringan Tanaman. Pusat Antar Universitas (PAU). Bioteknologi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Wattimena, Kristian S., 2006.
Materi Kuliah Dasar Teknologi Grafis dan Cetak, STIKOM, Surabaya.
Pierik, R. L. M., 1987. In Vitro
Culture of Higher Plants Martinus Nijhoff Publ. Boston.
Yusnita. 2004. Kultur Jaringan,
Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Agromedia Pustaka. Jakarta. 105 hal.
Hendaryono, Daisy dkk. 1994. Teknik
Kultur Jaringan: Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara
Vegetatif-Modern. Kanisius: Yogyakarta.
Gklinis, 2009. Kentang: Sumber
Vitamin C dan Pencegah Hipertensi. http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1084847086,80496.
Harris, PM. 1978. The Potato Crop:
The scientific Basis For improvement. Chapman & Hal, Inc, London.
Wiersema, S.G. 1987. Effect of Stem
density on potato production. Tehnical Information Bulletin. CIP. Lima. Peru.
Soelarso, B. 1997. Budidaya Kentang
Bebas Penyakit. Penerbit. Kanisius. Jogjakarta.
Astawan, M. 2004. Kentang.
Mlandhing. 2008. Kentang.
Adiyoga, W., S Rachman, T. Agoes,
S. Budi. J, K. U. Bagus, R. Rini dan M. Darkam. 2004. Profil Komoditas Kentang.
Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian, Jakarta.
Salisbury, dan Ross. 1992.
Fisiologi Tumbuhan. ITB Press. Bandung.
No comments:
Post a Comment